12 Mei 2011

UII dan Teori Kelas Karl Marx*

Saya tertarik dengan sebuah kelompok diskusi di jejaring sosial facebook. Namanya ‘Baca Marx yuk’. Di sana, para partisipan mengupas tuntas segala macam tentang Karl Marx. Mulai dari pemikirannya, sejarahnya, hingga perkembangan ideologi gerakan kiri. Siapa saja bebas ikut serta. Saya sangat antusias dengan salah satu pokok bahasan. Teori kelas. Jujur, saya belum membaca Das Kapital, karya paling fenomenal Karl Marx. Tapi tak ada salahnya mencoba memahaminya melalui orang yang sudah membaca.

Saya mencoba menguraikan apa yang saya pahami. Pertama, kita melihat melalui sudut pandang sempit Das Kapital. Teori kelas berkutat soal perbedaan strata sosial akibat dari struktur ekonomi kapitalis. Ada kelas borjuis dan proletar. Borjuis adalah kelompok yang menguasai alat-alat produksi. Mereka mengandalkan modal (kapital) dan kerja fisik kaum proletar untuk mengumpulkan kekayaan tanpa batas, bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup.

Ilustrasinya sama seperti seorang bos dari sebuah industri besar dan buruhnya. Si bos dari tahun ke tahun semakin kaya. Dalam waktu singkat, modalnya semakin berlipat. Ia tinggal berleha-leha dan duduk di kursi nyaman. Tanpa mengucurkan keringat, ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah masuk ke kantongnya. Berbeda dengan si buruh. Setiap hari, ia harus rela banting tulang mengolah bahan mentah menjadi komoditas siap pakai. Gajinya pas-pasan. Lingkungan kerja tak nyaman. Walau sebenarnya kerja fisiknya yang mengubah nilai suatu barang, namun seluruh keuntungan masuk ke kantong si bos.

Dari fenomena inilah kita bisa melihat apa yang disebut ‘kelas’. Si bos yang selalu menentukan apa yang harus dikerjakan buruh, dan komoditas apa yang harus dihasilkan. Si buruh tak punya kuasa. Bahkan, untuk menentukan besar gajinya pun ia nyaris tak punya nilai tawar. Walau faktanya, sekali lagi, si buruhlah yang mengubah nilai suatu bahan mentah menjadi komoditas. Bukan si bos.

Perbedaan antara siapa yang memiliki kuasa dan tidak adalah dasar dari teori kelas. Meski pada akhirnya, akses kuasa yang timpang akhirnya melahirkan ketertindasan. Borjuis yang menjadi si kuat, dan proletar yang menjadi si lemah. Borjuis yang menjadi penguasa, proletar yang menjadi wong cilik. Meski konteks gagasan Karl Marx adalah kelas dalam lingkup masyarakat ekonomi, namun faktanya, gagasannya bisa menjadi cara pandang tersendiri dalam struktur sosial masyarakat. Inilah yang sebut sebagai sudut pandang luas menurut kacamata saya.

UII

Saya mengajak anda sebagai mahasiswa dan civitas UII untuk mencoba melihat struktur sosial di kampus kita. Seperti yang saya utarakan di atas, teori kelas berpusat soal akses kuasa. Ada Rektorat, ada yayasan, ada mahasiswa, dan ada karyawan. Ada banyak struktur sosial di kampus kita. Di bidang akademik misalnya, Rektorat dan Yayasan menjadi borjuis, mahasiswa menjadi proletar. Jika kuliah bisa kita sebut sebagai ‘kerja’, maka sebenarnya belajar kita adalah ‘kerja’ untuk mendatangkan modal yang berlipat bagi kampus. Kita kuliah, maka tentunya kita wajib pula membayar SPP. Semakin banyak yang kuliah, maka uang SPP yang terkumpul semakin banyak pula. Tentunya ini menjadi berkah tersendiri bagi kampus—dalam hal ini Rektorat dan Yayasan—yang memang menginginkan keuntungan dan akumulasi kapital yang berlipat. Ini pula yang membuat Rektorat dan Yayasan memiliki akses kuasa yang lebih dibanding mahasiswa. Mereka bisa menentukan, gedung apa yang harus dibangun, fasilitas apa yang harus ditambah, dan apa yang perlu dibenahi dari kurikulum. Kita sebagai mahasiswa, tak punya kuasa untuk itu. Kita sebagai proletar, harus menerima keputusan dari borjuis. Meski secara fakta, ‘kerja’ kitalah yang mendatangkan uang. Kita yang membuat mereka ‘hidup’ dan menyebut diri mereka Rektorat dan Yayasan.

Itu baru satu contoh saja. Ada kasta sosial lain. Antara Rektorat dan Yayasan dengan karyawan. Meski secara kerja fisik karyawan mengucurkan keringat lebih banyak, mereka tak bisa menentukan berapa jam mereka harus kerja, berapa gaji mereka, dan berapa tunjungan mereka. Karyawan lagi-lagi harus menerima kebijakan Yayasan dan Rektorat yang secara tak langsung kembali menjadi borjuis. Walau sebenarnya, kedua kelompok ini memiliki tugas yang sama. Kerja menghidupkan UII. Tapi mengapa ada yang menjadi lebih superior?

Yang tak kalah penting, adalah struktur sosial di antara mahasiswa sendiri. Tanpa kita sadari, lembaga mahasiswa membentuk diri mereka menjadi borjuis kecil. Sama-sama membayar dana kemahasiswaan—yang besarnya rata-rata 40 ribu per tahun—tetapi akses kuasa hanya berpusat pada sekelompok orang di lembaga mahasiswa. Hanya mereka yang punya hak menggunakan dana kemahasiswaan yang totalnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Dalihnya, penggunaan uang juga untuk kepentingan mahasiswa. Mahasiswa yang mana? Bagi anda mahasiswa yang tak berkecimpung di lembaga, bertanyalah pada diri anda, apakah anda merasakan manfaat dari dana kemahasiswaan yang anda bayarkan?

Hanya mahasiswa di lembaga pula yang bisa membuat kebijakan. Mereka yang menentukan program apa yang layak diberikan untuk mahasiswa kebanyakan. Atau bahkan tak usah ada program, toh tak akan ada yang protes. Dana kemahasiswaan pun bisa mereka naikkan. Legitimasinya, tentu pemilihan wakil mahasiswa. Meski hanya seperempat dari 15 ribu mahasiswa yang memilih, mereka mengatasnamakan mahasiswa kebanyakan. Ini menjadi semacam cap ‘halal’ atas segala tindakan mereka. Kritik ini buat temam-teman yang aktif di lembaga, termasuk saya. Mulailah kita refleksi, jangan-jangan apa yang sudah kita perbuat, tak memberikan manfaat untuk mahasiswa kebanyakan.

Dari tiga ilustrasi di atas, kita bisa melihat betapa borjuis punya kuasa atas proletar. Mereka memiliki kekuatan tak terlihat. Namun, kata Karl Marx, kita bisa merubah kondisi ini. Harus ada yang bisa menyadarkan kaum proletar atas ‘kesewenangan’ borjuis. Kelompok penyadar menjadi satu-satunya harapan akan perubahan dan tercapainya hak-hak kaum proletar. Ini yang Karl Marx sebut sebagai kelas intelektual.

Kelas Intelektual

Inilah kelas terpilih. Mereka berani mengambil sikap melawan borjuis, dan mengajak proletar untuk merebut hak mereka. Disebut intelektual, karena merekalah kelompok yang punya ‘pengetahuan’. Mereka mengerti di mana titik lemah borjuis, bagaimana menarik simpati proletar, dan bagaimana menggalang dukungan. Peran ini sebenarnya bisa diemban siapa saja yang sadar akan ketertindasan proletar.

Apabila kita sesuaikan dengan kondisi di kampus kita, maka masing-masing struktur sosial punya kelas intelektual sendiri. Di bidang akademik misalnya, lembaga mahasiswa dapat mengambil peran sebagai kelas intelektual. Mereka bisa mengambil peran sebagai pembela hak mahasiswa kebanyakan. Kelompok ini bisa menggalang dukungan mahasiswa kebanyakan untuk memprotes ‘kesewenangan’ rektorat. Menuntut pembangunan fasilitas yang memadai, memberi saran perbaikan kurikulum, hingga melawan kenaikan SPP yang sepihak.

Mahasiswa juga bisa menjadi kelas intelektual atas ‘ketertindasan’ karyawan dari pihak Rektorat dan Yayasan. Sebagai kaum yang punya ilmu, kita bisa menjadi corong bagi karyawan. Bersama-sama, kita bisa memprotes gaji kecil karyawan, tunjangan mereka yang tak sesuai, atau pengabdian mereka yang tak dihargai.

Lantas, siapa yang bisa menjadi kelas intelektual bagi kondisi sosial mahasiswa? Ya siapa saja. Orang-orang lembaga bisa, orang-orang non lembaga juga bisa. Beberapa waktu lalu, saya membaca selebaran dari kelompok yang menamakan dirinya Provoc. Mereka mengkritik Dewan Permusyawaratan Mahasiswa dan Lembaga Pers Mahasiswa. Secara tak langsung, mereka mengambil peran sebagai kelas intelektual. Menyadarkan mahasiswa kebanyakan, akan kinerja lembaga yang kian tak beres.

Pilihan juga berlaku bagi mahasiswa yang ada di lembaga. Mau menjadi kelas borjuis atau kelas intelektual. Jika pilihan jatuh pada opsi pertama, maka silakan duduk manis, tak usah melakukan apa-apa, dan harus siap menerima kritik. Kalau memilih opsi kedua, maka turunlah ke lapangan, jaring aspirasi, dan suarakan keinginan mahasiswa kebanyakan. Serta siap melawan mahasiswa lembaga yang memilih menjadi borjuis. Keputusan ada di tangan masing-masing.

Teori kelas terus berlaku selama ada penindasan. Karl Marx mungkin tak pernah menyangka, gagasannya juga berlaku untuk sebuah universitas islam. Karena memang pemikiran dan pengetahuan tak terikat dimensi waktu dan ruang. Iya kan?

*Diterbitkan di buletin mahasiswa Kobarkobari Universitas Islam Indonesia edisi 149/Mei 2011

25 April 2011

Balada Arif Johar

Bagaimana seorang mahasiswa UII cum relawan bisa terjerat kasus hukum?

Oleh Anugerah I.R. Paputungan

Arif Johar tak pernah menyangka akan masuk bui. Saat perjalanan ke Polres Sleman pun, firasat buruk tak ada di pikirannya. Bahkan ketika diperiksa oleh pihak kepolisian, ia mengira hanya berupa pendataan administrasi dan langsung dipulangkan. Namun dugaannya meleset. Arif kini dituntut melanggar Undang-Undang Darurat no. 12 tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam oleh Kejaksaan Negeri Sleman. Ia diancam kurungan 10 tahun.

Semua berawal dari operasi yang dilakukan Polres Sleman, 23 November 2010 malam. Saat itu, Arif aktif menjadi relawan erupsi Gunung Merapi bersama rekan-rekannya di klub motor Honda CB. Usai membakar bangkai ternak di Balerante, Klaten, Arif bergegas pulang ke kosnya di Jalan Seturan, Sleman. Malang bagi Arif, perjalanannya harus terganggu. Ada operasi gabungan Polres Sleman. Polisi kemudian menemukan pisau lipat (multi tool) yang selama ini menjadi peralatannya saat mengevakuasi. Meski bisa digunakan sebagai korek api dan senter, menurut polisi, Arif melanggar aturan kepemilikan senjata tajam. Tanpa melawan, ia pun mengikuti kemauan sang polisi yang ingin membawanya ke Polres. “Katanya untuk pendataan Mas,” tutur Arif saat kami temui di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, 17 Februari 2011.

Sampai di Polres Sleman, polisi langsung membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuknya. Namun Arif masih mengira pembuatan BAP adalah pendataan yang dimaksud. Uniknya, meski tuntutan kurungan lebih dari lima tahun, Arif diperiksa penyidik tanpa didampingi kuasa hukum. Ada dua pandangan mengenai hal ini. Seperti yang diutarakan jaksa penuntut umum saat persidangan ketiga, 16 Februari, Arif bersedia diperiksa tanpa didampingi pengacara. Namun Arif mengaku tak tahu prosedur hukum yang berlaku. Singkat cerita, malam itu Arif harus mendekam di Polres Sleman. Sejak itulah, ia tak lagi menghirup udara bebas.

Hari Terakhir di Balerante

Cerita berawal dari erupsi terbesar Merapi tanggal 5 November, kampus UII meliburkan seluruh aktivitas akademik. Arif pun langsung berinisiatif menjadi relawan. Tak ingin jauh dari rumah, ia memilih bergabung bersama anggota klub motor honda CB. Mereka membuka posko relawan di kelurahan Gondang, Kabupaten Klaten, tak jauh dari pabrik gula. Ada 20 orang yang mau bekerja tanpa dibayar.

Dedy Santoso mengepalai tim. Pria muda sekaligus pendeta. Ia pula yang rela meminjamkan rumahnya untuk dijadikan posko. Sejumlah anggota CB berinisiatif mendirikan tempat ini sejak 28 Oktober 2010. Kegiatan mereka macam-macam. Mulai dari evakuasi, menyalurkan logistik untuk para pengungsi, hingga membakar bangkai ternak. Daerah kerja mereka mulai dari Deles hingga Balerante. Semuanya masuk Kabupaten Klaten.

Pagi tanggal 23 November 2010, tak ada yang istimewa bagi para relawan di posko CB. Aktivitas dimulai seperti biasanya, pukul enam pagi. Dedy Santoso memberi pengarahan untuk anggotanya. Ia membagi mereka menjadi beberapa tim kecil yang bergerak bersama Marinir dari Surabaya. Relawan CB tak bisa terjun sendirian, karena tak memiliki alat pendeteksi panas. Alat ini untuk jaga-jaga jika ada lahar yang turun sewaktu-waktu. Untuk memudahkan aktivitas di lapangan, lima hingga enam orang anggota ditemani satu marinir. Pagi itu, Dedy sekelompok dengan Arif. Dari Gondang, mereka bergerak bersama-sama menuju Balerante.

Bagi Dedy, Arif adalah yang terbaik dari anggotanya. Ia memberi Arif tanggung jawab untuk urusan logistik. Namun ia kerap ikut membantu evakuasi dan membakar bangkai ternak. “Orangnya semangat, disuruh apa saja mau,” kata Dedy. Hari itu, kelompok Dedy dan Arif membakar 15 ekor bangkai ternak. Lebih banyak dibanding biasanya. Saat membakar itulah Dedy dan Arif menggunakan pisau lipat. Mereka memakai pisau untuk memotong tali yang melilit leher ternak. Alat ini yang kelak mengirim Arif ke pengadilan.

Sekira jam empat sore, tim kembali ke posko di Gondang. Mereka melakukan evaluasi yang dilanjutkan istirahat. Selepas isya, anggota posko tak bisa berleha-leha. Masih ada kegiatan yang lain. Mereka bikin trauma healing. Semacam kegiatan untuk memulihkan mental para pengungsi setelah bencana. Malam itu, para relawan mengadakan pemutaran film. Arif masih ikut serta. Barulah hampir tengah malam, Arif pamit. Ia ingin pulang ke kostnya di seturan karena besoknya harus kuliah. Malam itu menjadi malam terakhir Arif di Posko CB.

Upaya Pembebasan

Kamis, 17 Februari. Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam. Kami menemui Marsum dan Sunarti, orang tua Arif, di rumah mereka di Pondok Mulyo, Gergunung, Klaten Utara. Meski sudah larut, Marsum dan Sunarti bersedia membukakan pintu untuk kami. Di ruang tamu, keduanya bercerita bagaimana usaha mereka membebaskan anaknya. Mereka juga mengenang saat-saat Arif menjadi relawan.

Sore hari tanggal 24 November 2010, telepon rumah mereka berdering. Di seberang sana terdengar suara Arif. Ia menceritakan kronologis kejadian malam sebelumnya. Kaget anaknya ditahan polisi, selepas magrib, Marsum dan Sunarti bergegas menjenguk anak mereka. Sampai di Polres, Marsum menjelaskan asal muasal kepemilikan pisau lipat. Pisau ini dibeli Arif di toko yang menjual peralatan penggiat alam bebas, tak jauh dari rumah mereka. Ia juga bilang kalau anaknya relawan. Marsum minta anaknya segera dibebaskan. Apalagi Arif ingin ikut Ujian Akhir Semester (UAS).

Ternyata cerita Marsum tak sanggup mengeluarkan anaknya dari tahanan Polres. Penyidik beralasan Arif telah menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), sehingga harus diproses secara hukum. Mereka menyarankan Marsum membuat permohonan penangguhan penahanan melalui Kapolres Sleman.

Tiga hari setelahnya, Marsum kembali ke Polres. Ia melampirkan surat rekomendasi dari klub motor Honda CB. Ini sebagai bukti bahwa Arif memang relawan. Meski telah menyerahkan surat rekomendasi, Polres Sleman tetap tak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan Marsum untuk anaknya. Ayah Arif tak putus asa. Setelah mendengar saran dari keponakannya yang juga polisi, 8 Desember 2010 Marsum dan Sunarti berangkat ke Polda DIY. Mereka ingin bertemu Kapolda DIY, Ondang Sutarsa. Di tangan mereka, ada surat permohonan bebas yang ditandatangani klub motor Honda CB. Ada juga foto dan kronologis kegiatan Arif sebelum diciduk, serta curahan hati Marsum dan Sunarti.

Sialnya, usaha pasangan ini belum membuahkan hasil. Kapolda tak ada di tempat. Ia pergi ke Jakarta. Jumat 10 Desember, pasangan ini kembali menyambangi Polda DIY masih dengan keinginan yang sama, bertemu Ondang Sutarsa. Setelah menunggu beberapa jam, Marsum dan Sunarti gagal menemui Ondang. Alasannya, Ondang ada rapat dan pekerjaan yang tak bisa ditinggal. Melalui asisten pribadinya, Rizal Jaya, Ondang menyarankan Marsum bertemu dengan Direktur Reserse dan Kriminal (Direskrim) Polda DIY. Reskrim adalah unit di kepolisian yang mengurus perkara pidana.

Sampai di gedung Reskrim, setelah sholat Jumat, melalui Kepala Bagian Analisis barulah diketahui bahwa BAP milik Arif telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sleman. Ini pula yang membuat Polda DIY mengaku tak bisa berbuat banyak. Arif harus mengikuti proses hukum yang berlaku. Meski usahanya membebaskan Arif gagal, Marsum tak menyerah. Ia kembali meminta saran kepada keponakannya di Semarang. Keponakannya kemudian menunjuk Sinto Ari Wibowo temannya, untuk menjadi kuasa hukum Arif Johar. Marsum setuju.

Marsum menjalankan rencana kedua. Ia menghubungi penyidik. Ia minta segala hal yang menyangkut proses hukum anaknya dipercepat. Marsum tak ingin anaknya terlalu lama mendekam di tahanan Polres. Barulah saat itu diketahui bahwa penyidik telah memindahkan Arif Johar ke Lapas Cebongan. Hal ini memungkinkan karena berkas perkara Arif telah sampai di kejaksaan. Namun lagi-lagi Marsum harus bersabar. Kasus anaknya tak bisa segera diproses. “Katanya jaksanya lagi cuti, harus nunggu dulu,” ujar Marsum.

Untuk mengetahui kebenaran cerita Marsum, kami mendatangi gedung Reserse dan Kriminal (Reskrim) di Kepolisian Resor Sleman (Polres Sleman). Gedung Reskrim terletak paling belakang dari semua bangunan di Polres Sleman. Mayoritas aparatnya pun tak menggunakan pakaian dinas berpangkat ala polisi. Namun, ada kesamaan yang membuat saya yakin mereka juga polisi. Berbadan tegap, dada membusung, rambut cepak, hati-hati jika berbicara, dan segan dengan atasan.

Setelah bertanya sana-sini, kami akhirnya menemui Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Kasat Reskrim) Ajun Komisaris Polisi (AKP) Danang Kuntadi. Danang berambut cepak, berkemeja, dan berjalan dengan dada membusung. Ia juga menggunakan kalung penyidik dengan warna emas yang mencolok. Aksesoris ini tak ada di leher anggota yang lain.

Dalam obrolannya dengan kami, Danang menegaskan bahwa baru menjabat Kasat Reskrim tanggal 6 januari 2011. Saat itu, berkas perkara Arif tak lagi di kepolisian. Dokumennya telah dilimpahkan ke Kejari Sleman. Ia tau perkara Arif berdasarkan BAP. Danang sempat mencarikan kami BAP Arif, namun tak menemukannya. Katanya, BAP juga ada di Kejari, dan Polres Sleman tak memiliki duplikatnya.

Ia pun memanggil anggotanya yang bernama Wahyu Widodo. Seseorang berpangkat Brigadir yang mengaku sebagai penyidik pembantu. Kata Danang yang diakui Wahyu, ialah yang menyidik Arif. Saat penyidikan Wahyu bertanya kepada Arif apakah ingin didampingi penasehat hukum, Arif menjawab tidak. Pun menutur Wahyu, saat orang tua Arif datang membawa surat keterangan relawan, berkas perkara Arif sudah dilimpahkan ke kejaksaan.

Sinto menanggapi pernyataan Wahyu. “Memang ditawarkan penasehat hukum. Tapi sudah jam satu (dini hari). Dia (Arif) harus menghubungi siapa? Secara logika lho ya.” Tak lama berselang, Sinto mengeluarkan pernyataan tak terduga. “Sebenarnya bukan Wahyu yang menyidik. Saya sudah tanya Arif. Kata Arif bukan Wahyu. Wahyu itu ada besok paginya. Dia cuma minta Arif tanda tangan BAP. Saya tanya Arif siapa yang menyidik. Arif bilang namanya gon.. gon.. gitu. Gogon? Iya Gogon,” kata Sinto bersemangat. Setahu Sinto ada perwira yang bernama Gogon di Satreskrim Polres Sleman. Arif yang kami temui di rumahnya, kamis 10 Maret membenarkan kata-kata Sinto. “Namanya Margono,” ujar Arif.

***

23 Februari 2011, kami mendatangi Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) DIY. Kantornya terletak persis di bibir jalan lingkar utara. Hanya sepelemparan batu dari Rumah Sakit JIH. Di lantai dua gedung, kami menemui Komisaris Polisi (Kompol) Rizal Jaya.

Saat kami tanya apakah pernah bertemu orang tua Arif Johar, Rizal menerawang. Ia lupa. “Banyak yang datang ke sini, Mas.” Namun saat kami menyebut nama Marsum, barulah Rizal ingat. “Itu sudah lama, sekitar dua bulan lalu, waktu itu Kapolda tak ada di tempat. Kami langsung mengarahkannya ke Reskrim,” ujarnya. Soal Marsum dan Sunarti yang menunggu lama ketika Kapolda sedang senam, Rizal enggan berkomentar. “Pokoknya, seingat saya waktu itu Kapolda tak ada di tempat. Kami langsung mengarahkannya ke Reskrim,” tutur Rizal. Ia menaikkan nada bicaranya.

Esoknya, kami mendatangi gedung Reserse dan Kriminal Polda DIY. Melalui sekretaris pribadi yang tak mau disebutkan namanya, Kombes Napoleon Bonaparte menolak menemui kami. Setelah mengobrol sebentar, barulah kami mendapatkan informasi bahwa Napoleon tak pernah bertemu Marsum dan Sunarti.“Saya ingat ada yang ke sini. Namanya Pak Marsum. Waktu itu langsung diarahkan ke kepala bagian analisis,” ujar sekretaris.

Senin 28 Februari, kami datang ke ruang bagian analisis. Di dalamnya tak ada yang mengenakan pakaian dinas polisi. Mereka memakai kemeja lengan panjang dan celana kain, layaknya karyawan kantor. Di pojok ruangan, Makmur duduk. Ia menekuri sejumlah berkas dengan kacamata miliknya. Kami mengutarakan tujuan kami bertemu Makmur. Intinya, memastikan pernyataan Marsum yang mengaku bertemu Makmur. Sejurus kemudian, Makmur mengernyitkan dahi, “Saya lupa mas.” Alasannya, tak ada buku tamu di ruangannya yang mencatat siapa saja yang bertandang. Ia merasa tak pernah mengeluarkan pernyataan soal kasus Arif. “Kalau soal kasus, biasanya saya mengarahkan langsung ke yang menangani, yaitu Polres Sleman,” tutur Makmur.

Cebongan

Lembaga Pemasyarakatan Cebongan terletak tak jauh dari jalan raya Yogyakarta menuju Magelang. Jika berangkat dari perempatan Sumberadi, hanya perlu 15 menit untuk sampai ke sana. Orang-orang di sekitar situ kerap menyebutnya LP Gentong. Mengacu pada tumpukan gentong di pertigaan terakhir menuju Lapas.

Bangunan Lapas ini terdiri dari dua bagian. Gedung dua lantai untuk perkantoran, dan sejumlah hunian satu lantai untuk warga binaan. Kalau ingin masuk ke dalam, pengunjung harus mengintip melalui lubang kecil atau mengetukkan gerendel di pintu. Barulah kemudian ada petugas Lapas yang menanyakan maksud dan tujuan si pengunjung. Jika berkenan, petugas akan membukakan pintu. Untuk menemui Arif, kami harus mengurus surat izin jenguk dari Pengadilan Negeri Sleman melalui Panitera Muda Pidana I. Tentunya tak lepas dari biaya administrasi.

Setelah menunggu 10 menit, petugas membawa kami ke dalam area binaan. Ia mempersilakan kami masuk ke ruangan khusus jenguk. Tampak sosok pria botak duduk. Badannya tak terlalu kekar. Ia sedang menunggu seseorang.

“Mas Arif?,” kami bertanya.

Ia mengangguk sambil tersenyum.

Kami bersalaman.

Saya mengeluarkan buku kecil untuk mencatat.

Udah. Nggak usah dicatat.” Arif menyuruh saya menyimpan alat tulis.

“Tadi aku ditanya petugas, kenal nggak, Aku bilang kenal. Temen. Wartawan nggak dibolehin masuk soalnya,” Arif mengedarkan pandangan.

Perlu usaha ekstra untuk mengobrol dengan Arif. Selain memerlukan surat jenguk, kami tak diperkenankan membawa kamera, dan telepon genggam. Kami juga harus rela digeledah. Petugas pun tak menyediakan banyak waktu. Siang itu kami hanya mengobrol 15 menit. Obrolan cuma seputar kronologis penangkapan. Kata petugas, ada apel untuk para warga binaan. Bahkan sebelum meninggalkan ruang jenguk, kami dimintai sejumlah uang seikhlasnya. Tak jelas untuk apa. Ada sebuah kardus di dekat pintu untuk tempat menaruh uang.

“Sepuluh ribu nggak apa-apa,” kata seorang petugas.

Teman saya menaruh tiga ribu rupiah.

Kami bergegas pergi.

Jika mahasiswa lain bebas mengikuti kuliah di pagi hari, Arif sekarang punya kesibukan baru. Mengajar Iqra’ bagi sejumlah narapidana di Lapas. Dan jika mahasiswa lain bisa dengan leluasa pulang ke kos di sore hari, maka Arif hanya bisa mendekam di kamar A1 tempat ia ditahan. Bagi penghuni Lapas, jam empat sore adalah batas terakhir beraktivitas di luar kamar. Segala macam aktivitas termasuk beribadah dilakukan di dalam kamar. Bagaimana rasanya dua bulan dikurung? Arif tersenyum getir,“ya mau gimana lagi, anggap aja apes.”

Persidangan

Pada 19 Januari berkas perkara Arif dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Sleman. PN kemudian menunjuk Riyanto Aloysius, Maskur, dan Nuryanto sebagai hakim ketua dan hakim anggota. Dua pekan kemudian, 31 Januari 2011, PN menggelar sidang perdana. Agendanya pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Saat itu juga, Sinto Ari Wibowo mengajukan eksepsi (keberatan) atas dakwaan jaksa. Alasannya, pemeriksaan terhadap Arif tak sesuai prosedur. Sinto mengacu pada pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di pasal tersebut, seseorang yang dituntut lebih dari lima tahun penjara harus didampingi kuasa hukum saat pemeriksaan. Namun menurut pengakuan Arif, tak ada pengacara yang mendampinginya. Kami tak mengikuti sidang pertama dan kedua Arif. Saat datang ke PN Sleman pada 16 Februari, sidang telah memasuki tahap pembacaan putusan sela.

***

Rabu 16 Februari siang, sidang ketiga Arif johar. Agendanya pembacaan putusan sela. Ratusan orang memadati Pengadilan Negeri Sleman. Sebagian dari mereka memenuhi ruang persidangan, sedangkan sisanya menahan terik di halaman kantor. Mayoritas dari mereka adalah relawan Search And Rescue (SAR) DIY. Sejumlah wartawan, aktivis, dan praktisi hukum juga hadir. Mereka membaur dengan puluhan aparat yang mengamankan PN Sleman.

Saat pembacaan putusan, terdengar teriakan protes kepada majelis hakim. Hakim ketua, Riyanto Aloysius akhirnya menolak eksepsi Sinto Ari Wibowo, penasehat hukum Arif Johar. Pertimbangan Riyanto, Arif bersedia diperiksa tanpa didampingi kuasa hukum. Perkara pun dapat dilanjutkan dengan menghadirkan saksi dan bukti di persidangan selanjutnya. Sidang lanjutan digelar Selasa, 22 Februari 2011.

Setelah majelis hakim menutup persidangan, tanpa ambil tempo Brotoseno bergegas keluar ruangan. Ia memberi aba-aba. Hanya dalam sekejap, puluhan relawan SAR DIY dengan baju oranye menyemut di depannya. Setelah memberi salam, komandan SAR DIY ini menjelaskan jalannya persidangan kepada rekan-rekannya. Tak hanya Brotoseno yang ada, budayawan Emha Ainun Nadjib juga hadir. Ia datang selaku Pembina Dewan Syuro SAR DIY. Keduanya menghimbau jangan sampai terjadi perbuatan anarkis. Usai bubar, Brotoseno mau bertemu kami. “Kalau dari SAR DIY satu saja mas. Catat, SAR DIY bersedia mati-matian berjuang supaya Arif bebas,” katanya setengah berteriak sambil mengacungkan telunjuk.

***

Tanggal 22 Februari Hakim melanjutkan sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang memberatkan. Semuanya berasal dari kepolisian. MG Sutrisno dan Suprihono Hadi sebagai aparat yang menciduk Arif saat operasi. Kesaksian keduanya tak menguntungkan Arif. Mereka bilang, Arif tak pernah memberitahu kalau dirinya relawan saat diciduk. Ia tak keberatan dibawa ke Polres Sleman, bersedia tak didampingi kuasa hukum, dan menandatangani BAP.

Sinto Ari Wibowo dan beberapa pengacara Arif pun bereaksi. Mereka menitik beratkan keterangan dua saksi yang tak sinkron. MG Sutrisno bilang Arif naik motor CB, sedang Supriyanto bilang Arif naik motor bebek. Mereka pun menyiapkan sejumlah saksi yang meringankan.

Usai sidang, sejumlah relawan dari SAR DIY, SAR Kabupaten Klaten, dan Jogjakarta Police Watch bergantian berorasi. Mereka menentang hukum di Indonesia yang tak memihak relawan. Ada juga aksi teatrikal dari Institut Seni Indonesia yang menggambarkan bobroknya hukum di negeri ini.

Sidang keempat Arif Johar, 1 Maret 2011. Polisi tampak berjaga di PN Sleman. Namun kali ini jumlahnya lebih sedikit. Tapi ada yang tak berubah, mobil barracuda dan mobil Samapta Polres Sleman tetap terparkir rapi di tepi jalan. Samapta adalah satuan khusus kepolisian untuk ketertiban masyarakat, yang dulu bernama Sabhara.

Pukul 11.00 majelis hakim memasuki ruangan. Ada yang menarik. Bukan Riyanto Aloysius si hakim ketua yang menampakkan batang hidung, melainkan Suratno. Ia membawa selembar kertas, di belakangnya ada dua hakim anggota, Nuryanto dan Maskur. Tak butuh waktu lama untuk menjawab kebingungan hadirin. Sebelum memulai sidang, Suratno membaca surat keputusan ketua PN Sleman yang menunjuknya menggantikan Riyanto. Riyanto sendiri dipindahtugaskan dari PN Sleman.

Sidang kelima digelar dengan agenda mendengarkan saksi yang meringankan. Tim Penasehat hukum berturut-turut menghadirkan Kamal Mustafa, Dedy Santoso, Sukamto, Brotoseno, dan Soema Suparsa. Nama terakhir batal menjadi saksi karena Jaksa Penuntut Umum, Dewi Sofiastuti keberatan. Dewi tak terima karena Soema berada di ruang sidang ketika saksi lain memberikan keterangan. Ini bertentangan dengan tata cara beracara di pengadilan.

Keempat saksi memberikan keterangan yang meringankan Arif. Kamal Mustafa sebagai pemilik toko Jeram yang menjual pisau lipat (multi tool), mengaku Arif datang ke tokonya oktober 2010. Katanya untuk persiapan jikalau Merapi sedang genting. Kamal menjual pisau lipat secara bebas. Yang ia tahu, tak perlu izin khusus untuk menjual barang itu.

Dedy Santoso dan Sukamto juga demikian. Dedy adalah ketua posko relawan CB di Kelurahan Gondang. Ia membenarkan kalau dirinya bekerja bersama Arif saat erupsi. Sedangkan Sukamto aktif sebagai relawan sekaligus penggiat di 907, channel radio khusus saat bahaya Merapi. Pak Kamto pernah melihat Arif di Balerante, bahu membahu untuk mengevakuasi warga.

Yang fenomenal adalah kesaksian Brotoseno, Komandan SAR DIY. “Saya minta Kapolres Sleman dihadirkan sebagai saksi. Kalau memang untuk memiliki alat-alat seperti ini (pisau lipat) harus memiliki izin, tolong katakan izinnya di mana. Biar kejadian ini tak terulang lagi pada anggota saya yang lain. Biar saya yang urus. Kalau perlu pakai uang saya,” tutur Brotoseno lantang. Ia juga membenarkan bahwa Arif adalah anggota SAR DIY. Hal ini diperkuat dengan adanya kartu anggota atas nama Arif. Sinto kemudian menunjukkannya kepada Jaksa dan Hakim.

***

Siang itu, matahari tak tampak. Ia bersembunyi di antara selubung awan tipis. Hanya dalam hitungan menit, gerimis turun. Butir-butir air menghiasi kaca ruang persidangan di PN Sleman. Di dalam ruangan, puluhan orang berjejal mendengar kesaksian Yudhi Sudiman dari penempuh rimba Wanadri. Ia menjawab pertanyaan hakim dengan logat sunda yang khas. Yudhi datang jauh-jauh dari Bandung sebagai saksi ahli untuk kasus Arif.

Yudhi adalah saksi ahli kedua setelah Markus Setyo Gunarto seorang pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Selain mendengarkan saksi ahli, agenda sidang 8 Maret juga mendengar keterangan dari terdakwa, Arif Johar Cahya Permana. Tak sampai dua jam, sidang usai. Sebelum bubar, hakim ketua Suratno membacakan keputusan majelis hakim mengenai permohonan penangguhan penahanan. Mereka mengabulkan permohonan Marsum dan Sunarti. Arif pun bisa pulang ke rumah dengan syarat harus hadir setiap sidang digelar. Keputusan ini disambut tepuk tangan meriah oleh hadirin yang datang.

Di mana UII?

Kamis 17 Februari, kami bertanya kepada Marsum dan Sunarti, Apakah ada pihak kampus yang menghubungi mereka? Mereka menjawab belum ada. Keduanya pun masih berpikir untuk menghubungi pihak kampus. Mereka takut UII akan menghapus status Arif sebagai mahasiswa karena terjerat kasus hukum. Kami pun berinisiatif menghubungi Bachnas, Wakil Rektor III UII.

Bachnas mudah dikenali dengan rambut dan jambangnya yang putih. Perawakannya tinggi besar. Hampir setahun Bachnas terpilih menjadi Wakil Rektor III bidang kemahasiswaan, alumni, dan kerjasama. Saat jumpa dengan saya, ia tampak terburu-buru. Katanya, mau menghadiri rapat di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Namun ia masih bersedia buka suara. Bachnas membantah UII tidak turun tangan menangani kasus Arif.

Saat berjalan dari ruang kerja menuju parkir, Bachnas bercerita bagaimana UII melibatkan diri. Saat itu ia mendapat kabar ada mahasiswa yang ditahan dari Wakil Dekan Faultas Ekonomi (FE), Diana Wijayanti. Bachnas langsung melacak biodata yang bersangkutan dan menemukan nama Aif Johar. Saat itu juga ia membentuk tim dan meminta Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UII turun tangan. Tim ini dibawah komando Abdul Jamil, Direktur LKBH UII. Tak cukup itu, awal Februari Bachnas mengumpulkan wartawan dari media lokal maupun nasional. Ia mengeluarkan pernyataan akan membantu kasus Arif. Namun hingga kini, Bachnas mengaku belum mendapat laporan perkembangan kasus dari Jamil. “Tanya pak Jamil, dia yang mengurus.”

Sudahkah UII menghubungi orang tua Arif? Bachnas berkilah. Ia menganggap pihak keluarga yang seharusnya menghubungi kampus. “Analoginya seperti anda sakit. Anda yang harus datang ke dokter menyampaikan keluhan. Baru kemudian diobati,” kata Bachnas sambil tersenyum lebar. Kemungkinan Drop Out (DO) yang dikhawatirkan Marsum juga menuai tanggapan dari Bachnas. Ia menilai Arif tak melakukan tindak kriminal. “Yang penting kasus di pengadilan selesai dulu,” ujarnya.

Sinto Ari Wibowo mengaku belum ada bantuan dari LKBH UII. Tapi Direktur LKBH Abdul Jamil pernah menghubunginya. Kata Sinto, LKBH kekurangan pengacara. LKBH juga sedang fokus menangani perkara lain. Sinto mempersilakan jika LKBH mau membantu. “Saya sangat welcome sekali. Bahkan saya yang datang ke jalan Lawu (Kantor LKBH UII) menyerahkan dokumen Arif. Saya kan alumni UII juga. Masak LKBH mau membantu saya halang-halangi.” Sinto bahkan bersedia menghubungi Rizky Ramadhan Baried dari LKBH UII untuk kami. Dalam perbincangan via telepon tanggal 22 Februari, Rizky mengaku LKBH UII sedang mempersiapkan tim untuk membela Arif. “Lebih jelasnya tanya pak Jamil saja.”

***

LKBH memiliki kantor sendiri di jalan Lawu, Kotabaru, Yogyakarta. Berbeda dengan beberapa lembaga atau pusat studi milik UII yang kantornya bergabung dengan gedung kuliah. Bangunan LKBH sendiri lebih mirip hunian ketimbang kantor. Rumah satu lantai dengan arsitektur khas tahun 60-an. Suasananya pun relatif sepi. Tak banyak hingar bingar yang menunjukkan aktifitas orang di dalamnya.

Abdul Jamil, Direktur LKBH UII menerima kami di ruangannya, Senin siang 28 Februari. Hal yang paling khas dari Jamil adalah kumisnya yang lebat. Selain menjabat sebagai direktur LKBH, Jamil juga menjadi dosen di Fakultas Hukum UII.

Ia membenarkan pernyataan orang tua Arif yang mengaku belum bertemu dengan pihak UII. Tapi Jamil merasa LKBH telah berupaya untuk pembelaan Arif. Ia dan Bachnas bahkan sudah bertemu Arif di Cebongan. “Saya lupa tanggal berapa. Kalau nggak salah tanggal 6 Februari, hari Minggu,” kata Jamil dengan suara berat. Ia sedang flu. Ketika kami mengkonfirmasi hal itu kepada Arif di PN Sleman, Arif mengaku lupa.

Meski mengaku telah bertemu Arif dan Sinto, LKBH tak kunjung memberi bantuan hukum. Jamil beralasan, ketika ia menghubungi Sinto, sidang telah sampai tahap putusan sela. Ia juga tidak enak mencampuri kasus Arif yang notabene telah memiliki penasehat hukum. Jamil mengambil keputusan ini berdasarkan etika profesi. “Mas sinto memang tak keberatan. Tapi kan ada pengacara lain. Kita nggak enak.” Jamil sudah berkonsultasi dengan Bachnas. “Kami memantau saja. Kalau Arif membutuhkan saksi ahli, kami siapkan.” Jamil berkomitmen memperjuangkan Arif agar tak mendapat hukuman. Ia bersedia memberi bantuan hukum jika pengadilan sampai ke tingkat banding. Soal jumlah pengacara yang minim di LKBH, Jamil tak membantah, “Memang, sekarang regenerasinya kurang.”

***

Kami kembali bertandang ke rumah Arif, Kamis 10 Maret untuk menjalin silaturahmi. Saat itu, barulah kami tahu kalau Bachnas telah bertamu ke rumah Arif sehari sebelumnya. Ia datang sebelum maghrib bersama tiga orang lainnya. Semua dari UII. Mereka bertemu langsung dengan Arif dan orang tuanya. Kata Marsum, Bachnas ikut prihatin atas musibah yang menimpa Arif. Mereka minta maaf tak bisa memberikan bantuan hukum, dan berjanji akan terus memantau kasus Arif.

Hingga kini, meski Hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanan, Marsum dan Sunarti terus berharap agar Arif divonis bebas supaya kembali melanjutkan kuliah. Mereka tak pernah absen saat sidang. Kami pun kerap menemui mereka dan bertegur sapa saat di Pengadilan. Saya masih ingat ketika Sunarti mengenang saat-saat Arif menjadi relawan. “Dia biasanya pulang sore. Bajunya yang orens langsung dicuci, buat dipakai besok pagi. Dia siul-siul sambil menjemur. Kayaknya seneng banget,” tutur Sunarti. Matanya berkaca-kaca.

Reportase bersama Taufan Ichtiar Khudi Akbar dan Anugrah Pambudi

21 Agustus 2009

Tengku Hasan Muhammad di Tiro dan Indonesia

Setiap membicarakan nasionalisme, saya selalu ingat nama diatas. Tengku Hasan Muhammad di Tiro, atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Hasan Tiro, pejuang Gerakan Acheh Merdeka (GAM). Tak mudah tentunya ketika dia memutuskan untuk berjuang demi kemerdekaan Acheh. Hasan di Tiro selalu yakin bahwa Indonesia hanyalah negara buatan soekarno. Ia mengutip pernyataan Henry Kissinger bahwa Indonesia hanyalah sekumpulan daerah yag dekat secara geografis dan dipersatukan administrasinya oleh Belanda.

Ia merasa Acheh tak pernah dijajah, dan memang begitu adanya. Dalam tulisannya "The Legal Status Of Acheh-Sumatra Under International Law", Ia selalu menyebut Indonesia dengan 'Javanese Indonesia'. Ia merasa penyerahan Acheh dari Belanda ke Indonesia tahun 1949 adalah sebuah penyerahan dari satu bentuk kolonialisme ke bentuk kolonialisme yang lain.

Hasan di Tiro selalu menganggap nusantara yang ingin dipersatukan Gadjah Mada dalam sumpah palapa hanyalah rekaan dan dongeng belaka, Indonesia tak pernah ada. Yang dijajah 300 tahun adalah bangsa jawa, dan Acheh sedikitpun tidak pernah dijajah, dalam 69 tahun Acheh selalu berjuang mempertahnkan diri dari Belanda. Hal inilah yang terus diperjuangkan Hasan di Tiro.

Jika menilik apa yang dikatakan Hasan di Tiro mengenai negara ini, berbagai macam pertanyaan besar muncul dalam benak saya pribadi, Benarkah demikian ?, benarkah negara ini hanya rekaan belaka ?, lantas apa yang dimaksud dengan nasionalisme ??, Jika dibilang 64 tahun kita merdeka, apakah benar 64 tahun ??, lantas bagaimana dengan Acheh yang tak pernah dijajah ?? sudahkah mereka merdeka ??.

19 Februari 2009

Pramoedya and my respect for him...

Saya membuka - buka postingan di blog Andreas Harsono, salah seorang jurnalis favorit saya. Di antara postingan yang sudah dipublish hampir sekitar tiga tahun lalu, ada sebuah postinganyang menarik perhatian saya, judulnya 'Pramoedya, facism, and his last interview'. postingan tersebut menceritakan tentang wawancara terakhir pak Andreas dan almarhum mbah Pram.

Wawancara tersebut membahas banyak hal, mulai dari Hasan di Tiro yang berpendapat bahwa Indonesia adalah "bangsa jawa", pengakuan seorang papua yang merasa mereka dieksploitasi, hingga permintaan maaf Pram pada teman aceh-nya. Ditengah wawancara, Pramoedya meminta izin ke 'belakang'. Andreas yang telah menunggu lebih dari dua jam, merasa harus menyudahi wawancara, karena merasa Pram harus istirahat. Wawancara pun sepakat dilanjutkan di lain waktu.

Yang menyedihkan, ternyata wawancara tersebut tidak 'benar - benar' selesai. Karena Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis legendaris di negeri ini, harus menemui ajalnya, sebelum menuntaskan janjinya pada Andreas Harsono.

Terlepas dari itu semua, saya pribadi sangat mengagumi Pramoedya lantaran pemikiran - pemikirannya yang dicurahkan melalui buku. Satu kalimat dari Pramoedya, yang benar - benar membuat saya sebagai seorang yang menuntut ilmu, merasa tersentuh. "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".