12 Mei 2011

UII dan Teori Kelas Karl Marx*

Saya tertarik dengan sebuah kelompok diskusi di jejaring sosial facebook. Namanya ‘Baca Marx yuk’. Di sana, para partisipan mengupas tuntas segala macam tentang Karl Marx. Mulai dari pemikirannya, sejarahnya, hingga perkembangan ideologi gerakan kiri. Siapa saja bebas ikut serta. Saya sangat antusias dengan salah satu pokok bahasan. Teori kelas. Jujur, saya belum membaca Das Kapital, karya paling fenomenal Karl Marx. Tapi tak ada salahnya mencoba memahaminya melalui orang yang sudah membaca.

Saya mencoba menguraikan apa yang saya pahami. Pertama, kita melihat melalui sudut pandang sempit Das Kapital. Teori kelas berkutat soal perbedaan strata sosial akibat dari struktur ekonomi kapitalis. Ada kelas borjuis dan proletar. Borjuis adalah kelompok yang menguasai alat-alat produksi. Mereka mengandalkan modal (kapital) dan kerja fisik kaum proletar untuk mengumpulkan kekayaan tanpa batas, bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup.

Ilustrasinya sama seperti seorang bos dari sebuah industri besar dan buruhnya. Si bos dari tahun ke tahun semakin kaya. Dalam waktu singkat, modalnya semakin berlipat. Ia tinggal berleha-leha dan duduk di kursi nyaman. Tanpa mengucurkan keringat, ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah masuk ke kantongnya. Berbeda dengan si buruh. Setiap hari, ia harus rela banting tulang mengolah bahan mentah menjadi komoditas siap pakai. Gajinya pas-pasan. Lingkungan kerja tak nyaman. Walau sebenarnya kerja fisiknya yang mengubah nilai suatu barang, namun seluruh keuntungan masuk ke kantong si bos.

Dari fenomena inilah kita bisa melihat apa yang disebut ‘kelas’. Si bos yang selalu menentukan apa yang harus dikerjakan buruh, dan komoditas apa yang harus dihasilkan. Si buruh tak punya kuasa. Bahkan, untuk menentukan besar gajinya pun ia nyaris tak punya nilai tawar. Walau faktanya, sekali lagi, si buruhlah yang mengubah nilai suatu bahan mentah menjadi komoditas. Bukan si bos.

Perbedaan antara siapa yang memiliki kuasa dan tidak adalah dasar dari teori kelas. Meski pada akhirnya, akses kuasa yang timpang akhirnya melahirkan ketertindasan. Borjuis yang menjadi si kuat, dan proletar yang menjadi si lemah. Borjuis yang menjadi penguasa, proletar yang menjadi wong cilik. Meski konteks gagasan Karl Marx adalah kelas dalam lingkup masyarakat ekonomi, namun faktanya, gagasannya bisa menjadi cara pandang tersendiri dalam struktur sosial masyarakat. Inilah yang sebut sebagai sudut pandang luas menurut kacamata saya.

UII

Saya mengajak anda sebagai mahasiswa dan civitas UII untuk mencoba melihat struktur sosial di kampus kita. Seperti yang saya utarakan di atas, teori kelas berpusat soal akses kuasa. Ada Rektorat, ada yayasan, ada mahasiswa, dan ada karyawan. Ada banyak struktur sosial di kampus kita. Di bidang akademik misalnya, Rektorat dan Yayasan menjadi borjuis, mahasiswa menjadi proletar. Jika kuliah bisa kita sebut sebagai ‘kerja’, maka sebenarnya belajar kita adalah ‘kerja’ untuk mendatangkan modal yang berlipat bagi kampus. Kita kuliah, maka tentunya kita wajib pula membayar SPP. Semakin banyak yang kuliah, maka uang SPP yang terkumpul semakin banyak pula. Tentunya ini menjadi berkah tersendiri bagi kampus—dalam hal ini Rektorat dan Yayasan—yang memang menginginkan keuntungan dan akumulasi kapital yang berlipat. Ini pula yang membuat Rektorat dan Yayasan memiliki akses kuasa yang lebih dibanding mahasiswa. Mereka bisa menentukan, gedung apa yang harus dibangun, fasilitas apa yang harus ditambah, dan apa yang perlu dibenahi dari kurikulum. Kita sebagai mahasiswa, tak punya kuasa untuk itu. Kita sebagai proletar, harus menerima keputusan dari borjuis. Meski secara fakta, ‘kerja’ kitalah yang mendatangkan uang. Kita yang membuat mereka ‘hidup’ dan menyebut diri mereka Rektorat dan Yayasan.

Itu baru satu contoh saja. Ada kasta sosial lain. Antara Rektorat dan Yayasan dengan karyawan. Meski secara kerja fisik karyawan mengucurkan keringat lebih banyak, mereka tak bisa menentukan berapa jam mereka harus kerja, berapa gaji mereka, dan berapa tunjungan mereka. Karyawan lagi-lagi harus menerima kebijakan Yayasan dan Rektorat yang secara tak langsung kembali menjadi borjuis. Walau sebenarnya, kedua kelompok ini memiliki tugas yang sama. Kerja menghidupkan UII. Tapi mengapa ada yang menjadi lebih superior?

Yang tak kalah penting, adalah struktur sosial di antara mahasiswa sendiri. Tanpa kita sadari, lembaga mahasiswa membentuk diri mereka menjadi borjuis kecil. Sama-sama membayar dana kemahasiswaan—yang besarnya rata-rata 40 ribu per tahun—tetapi akses kuasa hanya berpusat pada sekelompok orang di lembaga mahasiswa. Hanya mereka yang punya hak menggunakan dana kemahasiswaan yang totalnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Dalihnya, penggunaan uang juga untuk kepentingan mahasiswa. Mahasiswa yang mana? Bagi anda mahasiswa yang tak berkecimpung di lembaga, bertanyalah pada diri anda, apakah anda merasakan manfaat dari dana kemahasiswaan yang anda bayarkan?

Hanya mahasiswa di lembaga pula yang bisa membuat kebijakan. Mereka yang menentukan program apa yang layak diberikan untuk mahasiswa kebanyakan. Atau bahkan tak usah ada program, toh tak akan ada yang protes. Dana kemahasiswaan pun bisa mereka naikkan. Legitimasinya, tentu pemilihan wakil mahasiswa. Meski hanya seperempat dari 15 ribu mahasiswa yang memilih, mereka mengatasnamakan mahasiswa kebanyakan. Ini menjadi semacam cap ‘halal’ atas segala tindakan mereka. Kritik ini buat temam-teman yang aktif di lembaga, termasuk saya. Mulailah kita refleksi, jangan-jangan apa yang sudah kita perbuat, tak memberikan manfaat untuk mahasiswa kebanyakan.

Dari tiga ilustrasi di atas, kita bisa melihat betapa borjuis punya kuasa atas proletar. Mereka memiliki kekuatan tak terlihat. Namun, kata Karl Marx, kita bisa merubah kondisi ini. Harus ada yang bisa menyadarkan kaum proletar atas ‘kesewenangan’ borjuis. Kelompok penyadar menjadi satu-satunya harapan akan perubahan dan tercapainya hak-hak kaum proletar. Ini yang Karl Marx sebut sebagai kelas intelektual.

Kelas Intelektual

Inilah kelas terpilih. Mereka berani mengambil sikap melawan borjuis, dan mengajak proletar untuk merebut hak mereka. Disebut intelektual, karena merekalah kelompok yang punya ‘pengetahuan’. Mereka mengerti di mana titik lemah borjuis, bagaimana menarik simpati proletar, dan bagaimana menggalang dukungan. Peran ini sebenarnya bisa diemban siapa saja yang sadar akan ketertindasan proletar.

Apabila kita sesuaikan dengan kondisi di kampus kita, maka masing-masing struktur sosial punya kelas intelektual sendiri. Di bidang akademik misalnya, lembaga mahasiswa dapat mengambil peran sebagai kelas intelektual. Mereka bisa mengambil peran sebagai pembela hak mahasiswa kebanyakan. Kelompok ini bisa menggalang dukungan mahasiswa kebanyakan untuk memprotes ‘kesewenangan’ rektorat. Menuntut pembangunan fasilitas yang memadai, memberi saran perbaikan kurikulum, hingga melawan kenaikan SPP yang sepihak.

Mahasiswa juga bisa menjadi kelas intelektual atas ‘ketertindasan’ karyawan dari pihak Rektorat dan Yayasan. Sebagai kaum yang punya ilmu, kita bisa menjadi corong bagi karyawan. Bersama-sama, kita bisa memprotes gaji kecil karyawan, tunjangan mereka yang tak sesuai, atau pengabdian mereka yang tak dihargai.

Lantas, siapa yang bisa menjadi kelas intelektual bagi kondisi sosial mahasiswa? Ya siapa saja. Orang-orang lembaga bisa, orang-orang non lembaga juga bisa. Beberapa waktu lalu, saya membaca selebaran dari kelompok yang menamakan dirinya Provoc. Mereka mengkritik Dewan Permusyawaratan Mahasiswa dan Lembaga Pers Mahasiswa. Secara tak langsung, mereka mengambil peran sebagai kelas intelektual. Menyadarkan mahasiswa kebanyakan, akan kinerja lembaga yang kian tak beres.

Pilihan juga berlaku bagi mahasiswa yang ada di lembaga. Mau menjadi kelas borjuis atau kelas intelektual. Jika pilihan jatuh pada opsi pertama, maka silakan duduk manis, tak usah melakukan apa-apa, dan harus siap menerima kritik. Kalau memilih opsi kedua, maka turunlah ke lapangan, jaring aspirasi, dan suarakan keinginan mahasiswa kebanyakan. Serta siap melawan mahasiswa lembaga yang memilih menjadi borjuis. Keputusan ada di tangan masing-masing.

Teori kelas terus berlaku selama ada penindasan. Karl Marx mungkin tak pernah menyangka, gagasannya juga berlaku untuk sebuah universitas islam. Karena memang pemikiran dan pengetahuan tak terikat dimensi waktu dan ruang. Iya kan?

*Diterbitkan di buletin mahasiswa Kobarkobari Universitas Islam Indonesia edisi 149/Mei 2011



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar: